Search

Napaktilas Pernikahan, Persil 2



Seperti yang sudah dijanjikan, ibu itu memberikan poto seorang lelaki padaku. Perlu kuperkenalkan, dia adalah Ibu Sinar, seorang pegawai Kemenag Rejang Lebong yang anaknya belajar mengaji bersamaku. Sebenarnya dia juga gak kenal dengan lelaki di poto itu. dia mendapatkannya dari keponakannya, Fero, yang tinggal di kota Bengkulu. Menurut informasi, lelaki di poto itu bertetangga dengan Fero dan sering bertemu di Mesjid komplek.

Aku sendiri agak dag dig gug seerr menerima poto itu. Bukan apa-apa, aku takut gagal lagi. Makanya aku langsung berdo’a, “Ya Allah, jika lelaki di poto ini bukan jodohku, tolong segera jauhkan. Jangan sampai pada tahap-tahap yang lebih serius”. Khusyuk dan penuh harap kali do’aku itu. Oh ya, kelen juga perlu tau kenapa sampe segitunya aku berdo’a. Karena perjalanan jodohku itu berliku-liku melebihi kelok ampek puluh ampek-nya Sumbar. Aku pernah ta’aruf dan sudah sampai ke keluarga, tapi batal. Sesudahnya ada kurasa 5 atau 8 orang lagi yang datang, tetapi semuanya tak ada yang jadi. Kebanyakan sih aku yang menolak. Tapi belakangan kisahnya lebih memprihatinkan lagi. Aku di PHP-in. Nanti saja kubahas khusus cerita sejuta kegagalan yang mengkudeta hati itu ya. Yang pasti tak semulus yang kelen bayangkanlah.

Kutengok lagi poto lelaki itu. memang gak seganteng Amir Khan, tapi dari wajahnya macam ada cahaya gitu. Entah perasaanku saja atau apalah, yang pasti enak saja dilihat. Tenang aja kelen, gak liar kalinya mataku memandangnya. Kujaga juganya dikit-dikit pandanganku ini. Biar adil makmur sentosa, kukasih pula lah 5 bijik potoku mulai dari tampak wajah saja, setengah badan dan seluruh raga. Tapi rupanya cuma 3 bijiknya sampe ke tangan lelaki itu.

Sekitar dua hari berselang, ditelpon ibu Sinar itu aku. Katanya lelaki itu mau lanjut. Dia minta biodata lengkapku. Kukasihkanlah ya kan. Trus kuminta juga biodata lelaki itu. tentu saja semuanya melalui ibu itu, lalu ibu itu memberikannya kepada ponakannya, dan ponakannya memberikannya kepada lelaki itu. Begitu juga sebaliknya. Kira-kira skemanya begini:

Aku --> Bu Sinar --> Fero --> Lelaki itu
Lelaki itu --> Fero --> Bu Sinar --> Aku

Aku masih saja berdo’a kalo bukan dia jodohku janganlah sampe berlanjut. Kubaca dan kusimaklah baik-baik biodata itu. lalu kucocokkan dengan kriteria yang kutetapkan. Harus kelen ketahui bahwa aku membagi kriteriaku menjadi dua; kriteria wajib dan kriteria sunnah.


Kriteria wajib:
      1. Islam, Sholat 5 waktu dan puasa ramadhan 30 hari
      2. Fasih baca qur’an minimal panjang pendeknya benar
      3. Tidak merokok dan tidak pelit
      4. Tetap berpenghasilan

Kriteria sunnah:
  • Banyak bersaudara 
  • Lengkap orang tua, mengingat aku sendiri sudah yatim piatu. Jadi pengen kali punya emak dan bapak mertua.
  •  Berhidung mancung dan berkulit bersih. (untuk kriteria yang ini aku agak gak tau diri juga. Padahal kulitku saja gelap keling, tak tertolong bedak dingin). Hehehe 
  •  Bisa membawaku tinggal di daerah laut. Karena terus terang aku ini pecinta seafood. Cemanalah, aku kan anak nelayan di Barus sana. Rumahku saja persisi di depan laut. Jadi tak bisa jauhlah aku dari laut ya kan.

Itulah kira-kira kriteriaku. Dan dalam menentukan pilihan, tentu saja aku mengutamakan yang wajib dulu. Jika 85% kriteria wajib ini terpenuhi dan hanya 30% kriteria sunnah, maka aku berencana akan maju, sambil menunggu jawaban istikharah juga. Dan ternyata biodatanya itu memenuhi syarat. Apalagi ketika membaca rincian keadaan rumah orang tuanya di Indralaya sana; rumah panggung, terbuat dari papan, penerangan listrik, dll. Makin cocok kurasa. Itu artinya selevel dengan rumahku yang gubuk di kampung sana. Jadi sekiranya pun berjodoh, tak khawatir aku dia tidak mau memijak lantai rumahku itu.

Tapi terus terang belum ada rasa aku sama dia. *jelaslah ya kan, ketemu juga belom* aku pasrah saja mengikuti arus. Pokoknya yakin aku Allah gak akan menyia-nyiakan do’aku. Kalo bukan dia jodohku, pasti ada saja cara Allah menghentikannya seketika. Aku sendiri agak cemas-cemas apakah dia sreg dengan biodataku atau tidak. Tapi aku sudah siap untuk gagal lagi.

Siapa menyangka, selang seminggu dari pertukaran biodata itu, Ibu Sinar menelpon lagi. Katanya laki-laki itu lanjut ingin bertemu. Oh Tuhan, apakah ini tanda-tanda? Dengan hati yang gusar gitu ku ‘iya’ kan ajuan pertemuan itu. aku meminta bertemu di akhir agustus, tanggal 30 hari Minggu tepatnya. Aku meminta bertemu di rumahku; rumah bibiku tempat aku tinggal di Curup. Bibiku itu kupanggil Lati. Dia adik bungsu Bundaku yang sudah lama tinggal di tanah Rejang itu.

Aku masih terus saja berdo’a, karena sungguh, aku lelah. Aku tak mau lagi jadi tempat transit, singgah sebentar lalu pergi. Aku ingin jadi pelabuhan saja, tempat rebah melepas lelah dan tentu tempat pulang yang paling nyaman.

Waktu macam bekejar-kejar saja. Hari yang kupinta tiba. Dia datang sendirian dari kota Bengkulu dan mencari-cari alamat Bu Sinar. Kelen tau, dia dan buk Sinar itu gak kenal sama sekali. Modal pulsa saja sampe akhirnya mereka bertemu. Disitulah perkenalan mereka sesungguhnya. Mungkin sebagian orang akan berpikir gila kali ibu itu, gak kenal tapi berani menjodohkan. Ya..begitulah jalannya, cemana lagi. Selama ponakan ibu itu alias Fero menjadi informen terpercaya, ya oke-oke saja..

Ba’da zuhur mereka tiba di rumah. Aku sendiri masih di dalam kamar. Berkali-kali menghadap kaca untuk meyakinkan kalo aku ini sudah cantik, rapi, dan menawan. Cihhuyy...setelah mengatur nafas, pelan-pelan kubuka pintu kamar lalu keluar. Dan, oh.....

*Bersambung lagi... * 


Tidak ada komentar

Posting Komentar