Search

Ketemu Mayat


Aku baru saja pulang belanja dan baru selesai ngiris kangkung ketika ibu kos tiba-tiba muncul dari pintu belakang.
“Kalian gak nengok mayat?”
Kontan aku, Tiwi dan Rani terpelongo dan terdiam tuk beberapa detik. Kata ‘mayat’ itu yang cukup membuat kami berdegup. Tak mungkin ini kabar tetangga yang meninggal.
“Mayat gimana, Bu? Di mana?” aku memburu.
“Itu, dekat mesjid. Sanalah liat, Ibu gak bisa ngawani. Faisal tadi nengok, korban pembunuhan kayaknya.”
Aku langsung menyambar rok, baju dan jilbab sembarang. Kuseret Rani yang sedikit ketakutan. Kami berdua berjalan membawa sejuta tanya dalam hati. Sementara manusia telah berjibun di kedua ruas jalan, Macet tak dapat dielakkan.

Sungguh, hanya jarak beberapa rumah dari kos, kami tiba di TKP. Wartawan sibuk membidik kamera. Aku masih mencari-cari di mana mayat yang katanya sudah membusuk itu.
“Di mana mayatnya, bu?” tanyaku pada salah seorang ibu-ibu yang bergerombol
“Itu di belakang.” Jawabnya sambil menelan ludah. Agaknya ia mual mencium bau mayat yang ternyata sudah dikerumuni belatung itu. Aku kian ligat menyeret Rani, meski dia tak berminat melihatnya. Sejenak, ia menahan tanganku. “Kak, Rani gak berani,” rengeknya,
“Ayolah, dek. Gak apa-apa. Kakak penasaran.” Sebetulnya aku pun sedikit ciut. Jangankan asli, liat di tipi aja aku sering memalingkan muka. Namun Rani kekeh tuk tidak melanjutkan penyusuran. Tiba-tiba ada oppung-oppung yang menyeret tanganku.

“Ayo…ayo kita tengok. Aku pun penasaran. Tak apa-apanya itu.” ucapnya dengan logat Batak kental sambil melangkah menyeretku.
“Ragu aku, Pung. Kudengar selentingan tadi orang-orang itu ngomong ngeri kali katanya, Pung.”
“Udah, tak apa-apa. Kita tengok saja.”

Aku pun berjalan diantara ragu dan penasaran. Tapi melihat Oppung yang gagah ini keberanianku sedikit mencuat. Kami telah tiba di belakang rumah, namun mayatnya tak jua terlihat.
“Mana, mana?” entah pada siapa kutanyakan. Tapi yang jelas banyak juga yang menjawab.
“Itu.”

Aku melangkah perlahan, dan Oh….sesuatu menusuk hidungku. Spontan aku menutup hidung dan mulut dengan jilbab biru yang kukenakan. Aku terhenti sebentar, mengumpulkan kekuatan untuk berani menatap bulat-bulat dengan mataku ini. Sementara si Oppung uda menikmati pemandangan mengenaskan itu. Aku berdelik mendengar tanggapan orang-orang yang beraneka ragam.
“Ngeri kali ah, uda gembung badannya,”
“Kayaknya laki-laki, terikat tangannya dengan kawat. Posisinya mereng ke kanan.”
“Gak Nampak mukanya.”
Oh, mendengar celotehan orang-orang ini, aku ciut. Tapi ah…., kuberanikan sajalah. Akhirnya aku menyusup di pundak seorang ibu.
 
Astaghfirullahal’azhim…..aku langsung berpaling saat baru melihat bagian pahanya yang sudah merah kecoklatan, membusuk dan di penuhi belatung. Dari posisiku melihat, bagian badannya tertutupi rawa yang sedikit rimbun. Butuh beberapa langkah ke depan untuk bisa melihat utuh jasad mengenaskan itu.
Cukup! Aku tak mau lagi meneruskan langkah. Biarlah celotehan orang-orang sajalah yang kudengar. Aku ciut, angkat tangan. Aaagghhh…….






Tidak ada komentar

Posting Komentar